![]()
Garut,TRIBUNPRIBUMI.com – Derasnya hujan yang mengguyur Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Rabu (30/10/2025) sore, membawa bencana bagi warga Kampung Sarianteun, Desa Sukalaksana. Air bah bercampur lumpur dan material batu menghantam pemukiman, merusak rumah, jalan desa, serta lahan pertanian.
Peristiwa yang terjadi sekitar pukul 17.30 WIB itu berlangsung sangat cepat. Dalam hitungan menit, air dari arah perbukitan meluncur deras ke kampung, menimbulkan kepanikan di kalangan warga.
“Air datang tiba-tiba, suaranya keras, lumpur dan kayu langsung nyerbu rumah. Saya cuma bisa selamatin anak dan istri,” tutur seorang warga yang rumahnya terendam setinggi lutut.
Ketua LIBAS Soroti Galian C Sebagai Pemicu Utama
Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, menyoroti dugaan kuat bahwa penyebab utama bencana tersebut adalah aktivitas galian C batuan di wilayah perbukitan atas Sarianteun.
“Kami menerima banyak laporan dari warga tentang galian C di kawasan atas. Bukit yang dulu jadi penahan air kini rusak. Setiap hujan deras, air langsung turun tanpa kendali ke pemukiman,” ujar Tedi dengan nada prihatin.
Menurutnya, kegiatan galian batuan tanpa perencanaan dan pengawasan ketat telah memperparah kerusakan lingkungan. Ia menegaskan bahwa kondisi geografis Garut yang dikelilingi perbukitan semestinya dijaga, bukan dieksploitasi.
“Lingkungan itu bukan tambang yang bisa dihisap seenaknya. Begitu daya dukung alam rusak, rakyat kecil yang jadi korban. Pemerintah tidak boleh lagi menutup mata,” tegas Tedi.
Warga Merasa Terabaikan dan Dikhianati Alam
Warga Sarianteun mengaku sudah lama resah dengan aktivitas galian C tersebut. Suara alat berat kerap terdengar hingga malam hari, sementara laporan warga kepada pihak berwenang tak pernah ditindaklanjuti.
“Sudah sering kami lapor, tapi kayaknya nggak ada tindakan. Kalau hujan besar, air dari situ langsung turun ke kampung,” ungkap seorang tokoh masyarakat setempat.
Akibat banjir bandang, puluhan rumah terendam lumpur, akses jalan rusak, dan lahan pertanian tertutup material batu serta pasir. Kini warga bergotong royong membersihkan lumpur dengan alat seadanya.
LIBAS Desak Penegakan Hukum dan Evaluasi Izin Tambang
Dalam pernyataannya, Tedi Sutardi mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan. Menurutnya, dugaan pelanggaran lingkungan tidak bisa lagi disikapi hanya dengan teguran administratif.
“Kalau galian C itu legal, pasti ada AMDAL, izin lingkungan, dan pengawasan. Tapi kalau ilegal, aparat wajib menutup dan memproses hukum pelakunya. Jangan tunggu korban jiwa dulu,” tegasnya.
Ia juga meminta agar dilakukan kajian ulang terhadap kondisi tanah dan sistem aliran air di kawasan Sukalaksana. Menurutnya, bencana ini bukan sekadar akibat curah hujan tinggi, melainkan akumulasi dari kerusakan tata kelola lingkungan bertahun -tahun.
LIBAS Siapkan Pemantauan dan Dokumentasi Lapangan
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, LIBAS akan menurunkan tim untuk memantau langsung kondisi lapangan. Tim ini akan mendokumentasikan kerusakan dan melaporkannya kepada dinas terkait agar ada langkah pemulihan yang nyata.
“Kami tidak ingin kasus ini hilang begitu saja. LIBAS akan terus berdiri bersama masyarakat memperjuangkan hak atas lingkungan yang sehat dan aman,” tandas Tedi Sutardi.
Warga Minta Pemerintah Hadir Sebelum Bencana Terulang
Di tengah keterbatasan dan kelelahan, warga berharap pemerintah hadir bukan hanya setelah bencana terjadi, melainkan dengan tindakan nyata menertibkan galian C yang merusak.
“Kami sudah capek jadi korban. Kalau alam terus dirusak, nanti yang mati bukan cuma sawah, tapi juga nyawa,” kata seorang ibu rumah tangga sambil membersihkan lumpur di depan rumahnya.
Hingga Kamis malam, BPBD Garut belum terlihat di lokasi untuk membantu evakuasi. Meski tidak menimbulkan korban jiwa, kerugian material ditaksir mencapai puluhan juta rupiah.
Banjir bandang di Sarianteun menjadi peringatan keras bahwa eksploitasi alam tanpa kendali berujung pada penderitaan manusia. Jika galian C terus dibiarkan tanpa pengawasan, bukan tak mungkin wilayah lain di Garut akan menjadi korban berikutnya. (*)
