![]()
Jakarta,TRIBUNPRIBUMI.com – Gelombang desakan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan semakin menguat. Ribuan anak hasil perkawinan campuran dan keturunan diaspora Indonesia hingga kini masih hidup dalam ketidakpastian status hukum, mulai dari masalah kehilangan kewarganegaraan, kesulitan administrasi, hingga terbatasnya kesempatan untuk kembali dan berkontribusi bagi bangsa. Kondisi ini dinilai sebagai bukti bahwa regulasi yang berlaku belum mampu menjawab dinamika masyarakat modern dan perkembangan global yang semakin cepat.
Dalam upaya merespons keresahan tersebut, Harapan Keluarga Antar Negara (HAKAN) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan: Mendorong Indonesia Emas 2045.” Jum’at , (07/11/2025) di Aula Club House Bukit Podomoro, Jakarta Timur. Acara ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari unsur legislatif, eksekutif, akademisi, hingga perwakilan komunitas diaspora dan keluarga perkawinan campuran.
Anak Perkawinan Campuran Masih Rentan Kehilangan Kewarganegaraan
Berdasarkan berbagai temuan di lapangan, ribuan anak Indonesia dari perkawinan campuran sering terjebak dalam persoalan hukum yang pelik, terutama menyangkut batas usia memilih kewarganegaraan. Banyak dari mereka yang kehilangan status WNI tanpa disadari akibat ketentuan batas waktu yang sangat singkat, yang tidak sejalan dengan pola kehidupan diaspora yang mobilitasnya tinggi.
Situasi ini semakin rumit ketika mereka ingin kembali ke Indonesia untuk menempuh pendidikan, bekerja, atau membangun usaha. Proses administrasi yang berbelit dan aturan yang tidak fleksibel membuat banyak talenta diaspora terpaksa memilih negara lain sebagai tempat mengabdi.
HAKAN: Negara Tidak Boleh Kehilangan Potensi Anak Bangsa
Ketua Umum HAKAN, Analia Trisna, menegaskan bahwa pembaruan UU Kewarganegaraan tidak sekadar kebutuhan teknis, tetapi merupakan langkah strategis untuk menjaga masa depan bangsa. Menurutnya, diaspora Indonesia adalah aset berharga yang seharusnya dirangkul, bukan justru terhambat oleh aturan yang kaku.
“Penyempurnaan regulasi kewarganegaraan sangat penting untuk memastikan seluruh anak bangsa terlindungi, tanpa terkecuali, termasuk anak-anak dari lintas negara dan budaya. Kami berharap isu ini mendapat perhatian serius pemerintah dan DPR agar perubahan undang-undang dapat segera masuk dalam agenda nasional,” ujar Analia.
Ia menambahkan bahwa banyak anak perkawinan campuran yang telah mendapatkan pendidikan internasional dan memiliki pengalaman global. Potensi besar ini seharusnya bisa menjadi kekuatan untuk menyongsong visi Indonesia Emas 2045.
Momentum Konsolidasi untuk Perubahan
FGD yang diselenggarakan HAKAN menjadi ruang dialog antara pengambil kebijakan dan masyarakat terdampak. Para peserta forum berdiskusi mengenai berbagai opsi reformasi, mulai dari perpanjangan masa pemilihan kewarganegaraan, mekanisme kewarganegaraan ganda terbatas, hingga penyederhanaan proses administrasi bagi diaspora yang ingin kembali ke Indonesia.
Sejumlah akademisi hukum menilai bahwa revisi UU sangat mendesak untuk disesuaikan dengan perkembangan globalisasi, mobilitas lintas negara, dan meningkatnya jumlah perkawinan campuran. Sementara itu, perwakilan legislatif dalam forum menyatakan kesiapan untuk menyerap aspirasi dan menjadikannya acuan dalam penyusunan naskah akademik perubahan undang-undang.
HAKAN Siap Jadi Jembatan Pemerintah dan Diaspora
Sebagai organisasi yang fokus pada advokasi hukum dan perlindungan keluarga perkawinan campuran, HAKAN berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan masyarakat lintas negara.
Organisasi ini juga berperan sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dan diaspora, memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir benar-benar mencerminkan kebutuhan warga negara.
Melalui FGD ini, HAKAN menegaskan kembali komitmennya untuk membawa isu kewarganegaraan ke tingkat kebijakan nasional, sekaligus mendorong Indonesia agar tidak kehilangan generasi muda berbakat yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Menuju Kebijakan Kewarganegaraan yang Lebih Inklusif
Pembaruan UU Kewarganegaraan diharapkan dapat menjawab tantangan zaman serta memperkuat rasa kebangsaan di tengah masyarakat global.
Dengan regulasi yang lebih inklusif, humanis, dan adaptif, Indonesia diyakini dapat memperkuat relasi dengan diaspora, memaksimalkan kontribusi mereka, serta membuka jalan menuju pembangunan nasional yang berkelanjutan.
HAKAN menutup forum dengan seruan bahwa pemerintah tidak boleh menunda lagi proses reformasi hukum ini. Setiap anak bangsa, di mana pun mereka berada, berhak atas kepastian status kewarganegaraan dan kesempatan untuk berperan dalam membangun negara. (Megy)
