Bandung,TRIBUNPRIBUMI.com – Gelombang lesunya ekonomi kian terasa hingga ke sektor usaha kecil, termasuk pengrajin rajutan yang selama ini menjadi salah satu ciri khas Kota Bandung. Amir Hamzah atau yang akrab disapa Enjang Gunair (65), pengrajin rajutan asal Kiaracondong Barat, RT 06/08, Kelurahan Kebon Gedang, Kecamatan Batu Nunggal,Kota Bandung, Jawa Barat mengaku sedang menghadapi masa-masa terberat dalam perjalanan panjang usahanya.
Pria yang sudah lebih dari empat dekade berkarya di bidang rajutan itu mengungkapkan, untuk pertama kalinya orderan benar-benar sepi.
“Biasanya kalau sepi itu hanya menjelang bulan Agustus saja, tapi sekarang sudah Oktober belum ada tanda-tanda membaik. Padahal selama saya merajut, pesanan tidak pernah sampai serendah ini,” tuturnya saat ditemui di kediamannya, Sabtu (04/10/2025).
Penurunan Permintaan di Semua Lini
Kondisi serupa juga dialami oleh pengrajin lain di kawasan Binong dan Cidurian, yang selama ini dikenal sebagai sentra rajutan Kota Bandung. Baik penjualan secara online maupun melalui toko-toko yang sudah lama menjadi langganan, semuanya menurun drastis.
“Pembeli sepi, pemasaran sepi, modal kami juga terbatas. Untuk membeli benang saja sudah sulit, apalagi kalau barang jadi tidak laku. Jadi makin terhimpit,” keluh Enjang.
Menurutnya, kondisi ini diperparah dengan keterbatasan modal kerja. Ia pernah mencoba bergabung dengan koperasi pengrajin rajutan simpan pinjam di Binong dan Cidurian, namun usaha itu tidak berjalan mulus.
“Kalau ada bantuan modal dari pemerintah, mungkin bisa untuk stok barang lebih banyak. Selama ini saya pribadi belum pernah menerima bantuan apa pun,” jelasnya.
Mesin Rajut Tinggal Satu
Selain masalah pemasaran, kendala lain yang dihadapi Enjang adalah terbatasnya peralatan. Dulu ia memiliki lebih dari 10 mesin rajut yang setiap harinya berputar menghasilkan berbagai model rajutan, mulai dari sweater, jaket, hingga topi. Namun kini, hanya tersisa satu mesin yang masih berfungsi.
“Sekarang tinggal satu mesin saja yang bisa dipakai. Itu pun saya gunakan untuk membuat contoh atau sampel model, mudah-mudahan masih ada pembeli yang tertarik,” katanya penuh harap.
Meski terbatas, ia tetap berusaha mempertahankan usahanya agar tidak hilang ditelan zaman. “Kalau dibiarkan begitu saja, rajutan khas Bandung bisa punah. Padahal dulu, produk rajut Binong pernah jadi primadona, sampai ke luar kota pun banyak peminatnya,” imbuhnya.
Tradisi Rajut yang Terancam
Rajutan Binong bukan sekadar usaha, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan ekonomi masyarakat Bandung. Selama puluhan tahun, kawasan ini menjadi salah satu pusat kerajinan yang menghidupi ribuan warga. Kini, geliat itu kian meredup.
Sejumlah pengrajin bahkan ada yang terpaksa menutup usaha karena tidak sanggup menanggung beban modal, sementara produksi tidak terserap pasar. “Kalau dibiarkan terus seperti ini, bukan tidak mungkin usaha rajutan di Bandung akan hilang. Kami berharap pemerintah bisa turun tangan, baik dengan program bantuan modal, pelatihan pemasaran online, maupun membuka akses ke pasar yang lebih luas,” ujar Enjang.
Harapan di Tengah Kesulitan
Meski usia sudah lanjut, Enjang masih memiliki semangat untuk terus berkarya. Ia percaya bahwa rajutan memiliki daya tarik tersendiri yang tidak lekang oleh waktu. Namun, tanpa dukungan yang memadai, sulit baginya dan para pengrajin lain untuk bertahan.
“Kalau ada perhatian, misalnya dalam bentuk pameran rutin atau promosi produk lokal, kami bisa kembali bangkit. Rajutan itu bukan hanya soal pakaian, tapi karya seni yang bernilai tinggi. Jangan sampai hilang hanya karena kami tidak mampu bertahan,” ucapnya dengan nada optimis.
Kini, di tengah keterbatasan mesin, modal, dan pemasaran, Enjang Gunair masih setia duduk di depan satu-satunya mesin rajut yang tersisa. Dengan benang seadanya, ia tetap merajut bukan hanya pakaian, tetapi juga harapan agar warisan rajutan khas Bandung bisa terus hidup di tengah gempuran zaman. (Agus.S)