![]()
Garut,TRIBUNPRIBUMI.com – Derasnya hujan yang mulai turun di awal November ini bukan sekadar pertanda datangnya musim penghujan. Bagi Tedi Sutardi, Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), suara hujan adalah alarm keras yang mengingatkan manusia pada utang lamanya terhadap alam utang akibat penebangan liar, perusakan hutan, dan abainya kesadaran menjaga bumi.
Ditemui di sela kegiatan sosialnya, Tedi mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap kondisi lingkungan di Kabupaten Garut,Jawa Barat. Menurutnya, situasi kini sudah berada pada tahap kritis. Banyak kawasan hutan yang dulunya hijau dan lebat kini berubah menjadi lahan pertanian, kebun komersial, hingga permukiman warga.
“Kalau dulu dari jauh kita bisa lihat deretan bukit hijau yang jadi penyangga air, sekarang yang tampak malah tanah gundul dan ladang terbuka. Ini kondisi berbahaya. Alam sudah kehilangan keseimbangan,” ujarnya dengan nada serius, Minggu (02/11/2025).
Hutan Gundul, Banjir dan Longsor Jadi Ancaman
Garut yang dikenal sebagai daerah pegunungan dengan bentang alam menawan kini menghadapi ancaman nyata: bencana ekologis. Dari Cilawu hingga Banjarwangi, dari Pamulihan hingga Cisurupan, banyak wilayah dengan lereng curam kini kehilangan vegetasi pelindungnya.
Tedi menyebut, hampir setiap tahun masyarakat di wilayah-wilayah tersebut harus berhadapan dengan banjir bandang, longsor, dan pergeseran tanah. “Begitu hujan datang, air tidak lagi bisa terserap tanah. Ia mengalir deras ke bawah, membawa batu, lumpur, dan tanah. Akibatnya rumah warga rusak, sawah tertimbun, bahkan korban jiwa bisa terjadi,” katanya.
Ia menegaskan, kerusakan yang terjadi bukanlah proses alami, melainkan akibat ulah manusia sendiri. Pembukaan lahan tanpa izin, penebangan pohon sembarangan, dan lemahnya pengawasan pemerintah menjadi faktor utama.
“Kita sering bilang ‘bencana alam’, padahal sebagian besar ini adalah bencana akibat manusia. Alam hanya sedang menagih apa yang telah kita rusak,” ucapnya tajam.
Pemerintah Dinilai Belum Serius
Sebagai aktivis lingkungan, Tedi menilai bahwa penanganan dari pemerintah daerah masih jauh dari kata memadai. Program reboisasi dan konservasi yang digelar setiap tahun kerap berhenti di seremoni tanam pohon tanpa perawatan berkelanjutan.
“Tanam seribu pohon memang bagus untuk foto dan berita, tapi tanpa perawatan, semua hanya simbol. Pohon-pohon itu mati kering di musim kemarau, tak ada evaluasi, tak ada keberlanjutan,” katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap perusakan kawasan lindung. Menurutnya, masih banyak lahan di kawasan hutan lindung yang dibuka secara ilegal dan dibiarkan begitu saja tanpa tindakan tegas.
“Pemerintah tidak boleh menutup mata. Kalau pembukaan lahan liar dibiarkan, kalau aparat tak menindak, sama saja kita sedang menggali kubur sendiri,” ujarnya tegas.
Tedi berharap Pemkab Garut bersama aparat penegak hukum dapat lebih aktif turun ke lapangan, menindak pelanggar, serta memberikan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat sekitar hutan. Ia menekankan bahwa solusi tidak cukup dengan menanam, tetapi dengan membangun kesadaran dan sistem pengawasan berbasis masyarakat.
Peran Masyarakat, Kunci Menjaga Alam
Bagi Tedi, pelestarian lingkungan tidak akan berhasil tanpa peran aktif masyarakat. Ia mengajak seluruh warga Garut, terutama yang tinggal di kawasan rawan longsor, untuk ikut menjaga alam mulai dari hal-hal sederhana.
“Masyarakat jangan hanya menunggu bantuan ketika bencana datang. Kalau hutan di sekitar dijaga, kalau pohon tidak ditebang sembarangan, bencana bisa dicegah,” ujarnya.
LIBAS, merupakan perkumpulan yang ia pimpin, selama ini aktif melakukan gerakan tanam pohon, kampanye peduli lingkungan, dan edukasi kepada anak-anak sekolah tentang pentingnya menjaga hutan. Dalam berbagai kesempatan, Tedi dan timnya bahkan turun langsung ke lapangan menanam ribuan bibit di kawasan Cikajang, Talegong, dan Pamulihan daerah yang kerap menjadi langganan longsor.
“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada sinergi. Pemerintah, aparat desa, lembaga pendidikan, dan warga harus bersama-sama menjaga hutan. Alam ini milik bersama, dan tanggung jawabnya juga bersama,” tuturnya.
Data BPBD Garut: Ancaman Nyata di Depan Mata
Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut, terdapat lebih dari 120 titik rawan longsor dan 75 titik rawan banjir di wilayah Garut. Angka ini meningkat sekitar 40 persen dibanding tahun lalu.
Wilayah seperti Sukaresmi, Pakenjeng, Mekarmukti, dan Cibalong termasuk daerah dengan tingkat kerawanan tertinggi. Setiap tahun, ratusan keluarga harus mengungsi karena rumah mereka diterjang banjir atau tertimbun longsor.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa ancaman bukan lagi sesuatu yang jauh, melainkan sudah di depan mata. “Kalau kondisi ini terus dibiarkan, mungkin suatu saat sebagian wilayah Garut akan kehilangan daya dukungnya. Hutan habis, tanah kritis, sumber air menipis dan bencana datang silih berganti,” ujar Tedi mengingatkan.
“Alam Sedang Menguji Kita”
Menutup perbincangan, Tedi menyampaikan pesan reflektif yang penuh makna.
“Musim hujan ini bukan sekadar air yang jatuh dari langit. Ini adalah ujian dari alam apakah kita sudah belajar dari kesalahan masa lalu atau belum. Kalau masih sama, jangan salahkan alam ketika ia marah,” pungkasnya.
Bagi Tedi Sutardi dan rekan-rekan di LIBAS, perjuangan menjaga alam bukanlah pekerjaan sesaat, melainkan pengabdian panjang.
Mereka percaya bahwa menyelamatkan hutan berarti menyelamatkan kehidupan. Karena di balik setiap batang pohon yang tumbuh, ada harapan bagi masa depan generasi Garut. (*)
