![]()
Garut,TRIBUNPRIBUMI.com – Krisis ekonomi yang melanda saat ini tak hanya menggerus daya beli masyarakat, tetapi juga perlahan mengikis nilai-nilai moral dan spiritual di tengah kehidupan sosial. Di tengah gelombang kesulitan ini, Ketua DPRD Garut, Jawa Barat. Aris Munandar,S.Pd tampil menyerukan pentingnya menjaga cahaya akhlak dan ketahanan moral generasi muda, serta menegaskan peran penting para guru ngaji sebagai benteng terakhir moral bangsa.
“Ketika ekonomi goyah dan nilai sosial mulai memudar, guru ngaji menjadi penjaga terakhir agar anak-anak kita tidak kehilangan arah dan jati diri,” ucap Aris Munandar dalam sebuah wawancaranya bersama awak media melalui sambungan Whatsapp miliknya pada. Sabtu, (18/10/2025).
Aris menilai, krisis ekonomi yang berkepanjangan telah membawa dampak sosial yang sangat terasa. Banyak orang tua terpaksa bekerja lebih keras, bahkan sampai melupakan tanggung jawab moral dalam mendidik anak. Sementara di sisi lain, dunia digital yang tanpa batas menghadirkan ancaman baru: hilangnya nilai sopan santun, kejujuran, dan empati di kalangan generasi muda.
Krisis Ekonomi dan Krisis Nilai
Menurut Aris, Indonesia saat ini tidak hanya menghadapi masalah finansial, tetapi juga krisis moral yang lebih berbahaya dari kemiskinan materi. Ia menjelaskan bahwa ketika tekanan hidup semakin berat, masyarakat sering kali terjebak dalam pragmatisme, mengejar keuntungan tanpa memikirkan etika.
“Yang kita hadapi bukan hanya mahalnya harga beras, tapi murahnya nilai-nilai moral di tengah masyarakat,” ujarnya dengan nada prihatin.
Bagi Aris, krisis ekonomi bisa disembuhkan dengan kebijakan yang tepat, namun krisis moral membutuhkan waktu panjang dan kesadaran kolektif untuk dipulihkan. Di sinilah, katanya, peran guru ngaji menjadi sangat vital.
Guru Ngaji: Penjaga Nurani yang Bekerja dalam Sunyi
Ketua DPRD Garut ini menegaskan bahwa guru ngaji adalah sosok yang sering terlupakan, tapi memiliki peran luar biasa dalam membentuk karakter generasi bangsa. Mereka bekerja dalam kesunyian, tanpa sorotan media, tanpa tunjangan besar, namun buah dari pengabdian mereka terasa di hati masyarakat.
“Guru ngaji tidak sekadar mengajarkan bacaan Al-Qur’an, tapi mereka menanamkan nilai-nilai yang menjadi dasar peradaban kejujuran, disiplin, kasih sayang, dan tanggung jawab,” tegas Aris Munandar.
Ia juga menyinggung kiprah organisasi seperti Persatuan Guru Ngaji (PGN) Jawa Barat yang terus memperjuangkan nasib dan martabat para guru ngaji di tengah keterbatasan. Aris menyebut PGN sebagai contoh nyata perjuangan moral yang lahir dari masyarakat, bukan dari sistem birokrasi.
Mendorong Dukungan Nyata untuk Guru Ngaji
Aris Munandar mengungkapkan bahwa DPRD Garut sedang berupaya mendorong kebijakan yang berpihak pada para pendidik nonformal, termasuk guru ngaji, yang selama ini belum sepenuhnya tersentuh oleh kebijakan pemerintah.
“Guru formal mendapatkan insentif dan pelatihan, maka guru ngaji juga seharusnya memperoleh perhatian yang sama. Mereka juga pendidik bangsa, hanya jalurnya berbeda,” kata Aris.
Ia menegaskan, sudah saatnya pemerintah daerah tidak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan spiritual dan moral masyarakat. Sebab, tanpa moralitas yang kuat, pembangunan hanya menjadi proyek tanpa jiwa.
Menurutnya, perlu ada sinergi antara pemerintah, DPRD, lembaga pendidikan Islam, dan masyarakat untuk mengangkat kesejahteraan para guru ngaji. Bentuk dukungan tersebut bisa berupa insentif daerah, pelatihan, bantuan fasilitas mengaji di desa-desa, serta pengakuan status sosial mereka sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Menanam Nilai di Tengah Arus Zaman
Aris mengingatkan bahwa tantangan zaman modern semakin berat. Di saat anak-anak mudah mengakses informasi dari berbagai platform digital, peran guru ngaji menjadi semakin penting untuk membentuk filter moral dan spiritual di dalam diri generasi muda.
“Kalau dulu anak belajar adab di rumah dan mushola, sekarang mereka belajar dari media sosial yang kadang tidak punya batas etika,” ujar Aris.
“Guru ngaji menjadi jangkar moral agar anak-anak tetap mengenal siapa dirinya, agamanya, dan negaranya.”
Ia menambahkan, pembangunan manusia seutuhnya tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum akademik, tetapi juga harus mengakar pada nilai-nilai keagamaan. Sebab, bangsa yang besar bukan hanya karena ekonomi yang kuat, melainkan karena akhlaknya yang terjaga.
Refleksi: Cahaya dari Mushola-Mushola Kecil
Dalam refleksi pribadinya, Aris Munandar mengatakan bahwa harapan bangsa tidak lahir dari ruang-ruang megah, tetapi justru dari mushola-mushola kecil di pelosok desa tempat anak-anak belajar membaca Al-Qur’an dan menghormati gurunya.
“Di mushola itulah fondasi bangsa ini dibangun. Dari sanalah lahir generasi yang berakhlak, sabar, dan punya rasa tanggung jawab terhadap sesama,” ungkapnya dengan penuh makna.
Ia juga menegaskan bahwa perhatian terhadap guru ngaji bukan hanya soal belas kasihan, melainkan bentuk penghormatan terhadap peran mereka sebagai penjaga ruh bangsa di tengah derasnya perubahan zaman.
Pembangunan Harus Berjiwa
Menutup pesannya, Ketua DPRD Garut Aris Munandar menekankan bahwa pembangunan sejati bukan diukur dari banyaknya gedung yang berdiri, melainkan dari kokohnya nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan masyarakat.
“Negara akan tetap berdiri selama rakyatnya berpegang pada nilai moral. Tapi jika akhlak hilang, sebesar apapun kemajuan ekonomi, semua itu akan runtuh,” tegasnya.
Dengan pandangan itu, Aris mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk kembali menghargai para guru ngaji para penerang di tengah gelap zaman. Mereka bukan hanya pengajar agama, melainkan penjaga nurani bangsa. Di tangan merekalah, cahaya itu terus menyala, meski dunia di sekitarnya kian gelap. (*)
