![]()
Garut,TRIBUNPRIBUMI.com – Di sebuah gubuk sederhana di Kampung Bihbul, RT 01 RW 02, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat seorang perempuan paruh baya bernama Ibu Atik berjuang antara hidup dan mati. Tubuhnya kian kurus, wajahnya pucat, dan napasnya tersengal. Setiap hari, ia melawan rasa sakit yang mendera tanpa ada kepastian kapan bisa sembuh.
Namun, lebih dari sekadar rasa sakit, yang paling menyayat hati adalah rasa diabaikan.
Di saat ia terbaring lemah, di saat butuh uluran tangan dan perhatian, pemimpin desanya hanya datang sekilas menengok, berbasa-basi, lalu pergi tanpa memberi solusi.
Kartu BPJS Tak Berdaya Tanpa Uang Ongkos
Ibu Atik memang memiliki kartu BPJS Kesehatan, hasil program nasional yang digadang-gadang sebagai penyelamat rakyat miskin. Tetapi bagi Ibu Atik, kartu itu hanya menjadi lembar plastik tanpa makna.
Untuk pergi berobat ke rumah sakit, ia harus menempuh perjalanan puluhan kilometer dengan medan curam, berbatu, dan berbahaya. Transportasi pun tak ada.
Jika menyewa mobil, biayanya ratusan ribu rupiah sesuatu yang mustahil baginya yang bahkan untuk makan sehari-hari pun sering kali tak cukup.
“Beliau punya BPJS, tapi untuk ongkos saja tidak punya,” ujar Aan Carlos, Ketua Pemuda Kampung Bihbul, kepada Tribunpribumi.com, Senin (20/10/2025).
“Pihak desa memang datang menjenguk, tapi sebatas itu. Tidak ada tindakan nyata. Seolah cuma formalitas belaka.”
Di Tengah Sakit, Harapan Itu Nyaris Padam
Hari-hari Ibu Atik kini diisi dengan menatap langit-langit rumahnya yang bocor, ditemani suara angin yang menembus sela-sela dinding bambu. Ia hidup bersama cucunya yang masih kecil, sementara anak-anaknya bekerja jauh di luar kota dengan penghasilan tak seberapa.
“Kadang beliau makan cuma nasi sama garam,” tutur Aan lirih. “Kalau sakitnya kambuh, beliau cuma minum air putih dan diam di kasur.”
Tetangga sekitar sudah sering membantu seadanya. Ada yang memberi beras, ada yang menengok dan mendoakan. Tapi tak ada satu pun langkah konkret dari pihak pemerintah desa.
Kepala Desa Datang, Tapi Hanya Menyisakan Janji
Beberapa warga menyebut Kepala Desa Tanjungjaya memang sempat datang ke rumah Ibu Atik. Namun kehadirannya tidak membawa harapan baru. Tidak ada bantuan obat, tidak ada rujukan kesehatan, dan tidak ada tindakan lanjutan.
“Kalau cuma datang dan bilang ‘sabar ya, Bu’, itu bukan solusi,” kata Aan kecewa.
“Kalau pun tidak bisa bantu dari pribadi, mestinya kepala desa bisa pakai dana sosial desa, atau minta bantuan ke kecamatan. Tapi sampai sekarang nihil.”
Kekecewaan warga bukan tanpa alasan. Mereka menilai aparatur desa terlalu sibuk dengan urusan administratif, sementara rakyat miskin dibiarkan berjuang sendiri.
Pemuda Bergerak Saat Pemerintah Diam
Di tengah kekecewaan itu, segelintir pemuda kampung memutuskan untuk tidak hanya mengeluh. Aan Carlos bersama rekan-rekannya kini tengah menggalang donasi mandiri untuk membantu biaya pengobatan dan transportasi Ibu Atik.
“Kami bukan pejabat, tapi kami manusia yang punya hati,” ujar Aan dengan suara tegas.
“Kalau kami diam, siapa lagi yang mau peduli? Pemerintah sudah terlalu sering menutup mata.”
Gerakan spontan ini menjadi simbol kecil bahwa solidaritas masyarakat masih hidup, meski perhatian dari atas kian pudar. Di tengah keterbatasan, mereka menunjukkan bahwa empati tak butuh jabatan.
Potret Buram Keadilan Sosial di Garut Selatan
Kisah Ibu Atik sejatinya hanyalah satu dari sekian banyak cerita pilu warga di pelosok Garut Selatan. Daerah ini masih menghadapi tantangan besar: kemiskinan ekstrem, minimnya infrastruktur kesehatan, dan lemahnya akses bantuan sosial.
Banyak warga memiliki BPJS, tapi tak punya ongkos untuk ke rumah sakit. Banyak kepala desa memiliki anggaran desa, tapi tidak tahu atau tidak mau memanfaatkannya untuk urusan kemanusiaan.
Slogan “Kesehatan untuk Semua” masih terasa seperti ilusi bagi mereka yang tinggal di pinggiran. Di atas kertas, mereka dijamin oleh negara. Namun di lapangan, mereka harus bertarung sendirian melawan nasib.
“Negara hadir katanya. Tapi di mana buktinya?” ujar Aan dengan getir.
“Kalau masih ada warga miskin yang terbaring tanpa pengobatan, berarti negara belum benar-benar hadir.”
Harapan Terakhir di Tangan Sesama
Kini, satu-satunya harapan Ibu Atik adalah tangan-tangan manusia yang masih punya hati. Uluran kecil dari masyarakat bisa menjadi penyambung hidupnya.
Aan dan para pemuda berharap agar pemerintah kabupaten dan dinas sosial segera turun tangan.
“Kami tidak ingin mencari sensasi, kami hanya ingin Ibu Atik ditolong sebelum terlambat,” ujarnya.
Bagi mereka, kisah ini bukan sekadar tragedi kemiskinan, tapi tamparan moral bagi siapa pun yang mengaku pemimpin rakyat.
Selama masih ada rakyat kecil yang sakit dan terabaikan, sementara pejabat sibuk dengan seremoni dan pidato pembangunan, maka sejatinya kesejahteraan itu belum pernah benar-benar hadir.
Penutup: Dari Kampung Sunyi untuk Nurani Negeri
Ibu Atik bukan satu-satunya, tapi mungkin dia adalah wajah paling jujur dari kemiskinan yang tak tersentuh pembangunan.
Kisahnya mengajarkan satu hal: kekuasaan tanpa empati hanyalah topeng kosong.
Ketika negara abai, dan pemimpin menutup mata, maka rakyatlah yang kembali menyalakan lilin kecil kemanusiaan meski di tengah gelap yang panjang. (*)
