![]()
Garut,TRIBUNPRIBUMI.com – Profesi wartawan kembali mendapat perlakuan tidak semestinya.Di Desa Cigaronggong, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kepala Desa Supardin diduga melakukan tindakan yang tidak hanya menghalangi tugas jurnalistik, tetapi juga merendahkan martabat profesi wartawan di hadapan publik. Insiden ini memicu kecaman keras dari insan pers dan menuntut respons tegas dari pemerintah daerah.
Wartawan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi tanpa intimidasi. Pasal 4 Ayat (3) menegaskan bahwa kemerdekaan pers dilindungi oleh negara. Pasal 8 memberikan perlindungan hukum bagi wartawan yang menjalankan tugas profesionalnya, dan Pasal 18 Ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa siapa pun yang menghalangi tugas jurnalistik dapat dipidana.
Meski dasar hukum tersebut sangat jelas, kejadian di Desa Cigaronggong justru menunjukkan pelecehan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi. Wartawan Wawan Sutiawan dari Tribunpribumi.com tengah melakukan peliputan terkait perbaikan jalan kabupaten yang rusak di wilayah desa. Tugas jurnalistik ini merupakan kegiatan resmi yang dilindungi undang-undang.
Namun secara tiba-tiba, Kades Supardin menyampaikan pernyataan kontroversial di depan pekerja dan masyarakat. Ia melarang wartawan datang ke kantor desa dengan alasan yang tidak masuk akal. Pernyataannya menimbulkan tanda tanya besar.
Apa yang sebenarnya ingin ditutupi oleh pihak desa? Larangan datang ke kantor desa bukan hanya tidak berdasar, tetapi juga menunjukkan indikasi ketertutupan dalam mengelola pemerintahan desa.
Wawan menegaskan bahwa wartawan tidak akan datang ke kantor desa tanpa alasan jelas. “Kalau tidak ada tugas, kami tidak akan datang. Kami hadir untuk meliput, menjalankan pekerjaan,” ujarnya. Senin, (10/11/2025).
Namun sikap kades justru menunjukkan adanya arogansi dan ketidakpahaman terhadap aturan yang mengatur fungsi pers.
Lebih ironis lagi, Kades Supardin berdalih bahwa wartawan dilarang datang “karena tidak punya uang”. Alasan ini memunculkan berbagai spekulasi di masyarakat. Publik bertanya-tanya apakah ada ketidakberesan dalam pengelolaan desa, atau apakah pernyataan tersebut merupakan upaya menutupi sesuatu.
Sejumlah warga yang menyaksikan kejadian itu justru mempertanyakan sikap kades. “Kalau tidak ada salah, kenapa harus melarang wartawan?” ujar seorang warga. Pertanyaan ini semakin mempertegas dugaan bahwa pihak desa enggan terbuka terhadap pengawasan publik.
Kekecewaan mendalam juga datang dari rekan-rekan jurnalis. Mereka menilai tindakan Kades Supardin sebagai sebuah serangan langsung terhadap kebebasan pers. Perwakilan wartawan Tribunpribumi.com yang juga sebagai anggota Gabungan Wartawan Indonesia menegaskan bahwa tindakan kades telah melanggar undang-undang dan masuk kategori pidana.
“Kami tidak bisa diam. Ini bukan hanya soal pribadi, tetapi soal harga diri profesi wartawan dan marwah pers di Indonesia. UU Pers sudah sangat jelas. Menghalangi tugas jurnalistik adalah tindakan pidana. Kades ini sudah melecehkan profesi kami,” tegas Wawan Sutiawan.
Pihak media memastikan akan membawa kasus ini ke jalur formal. Mereka meminta Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Garut agar segera mengambil langkah tegas dengan memanggil Kades Supardin untuk dimintai klarifikasi dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu, proses hukum akan ditempuh untuk memberikan efek jera serta menegakkan supremasi hukum.
“Ini akan kami laporkan. Kami minta DPMD bertindak, dan kami pastikan langkah hukum ditempuh. Kalau dia jual, kami borong,” tegas Wawan.
Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa tindakan yang merendahkan dan menghalangi pers tidak boleh dibiarkan. Wartawan adalah pilar demokrasi yang berfungsi menyuarakan kepentingan publik. Ketika kepala desa bersikap arogan dan menutup pintu transparansi, publik berhak mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik pemerintahan desa.
Kasus Kades Cigaronggong kini menunggu tindak lanjut dari pihak berwenang. Publik pun menantikan apakah pemerintah daerah berani bersikap tegas terhadap tindakan yang diduga mengangkangi undang-undang ini. (Red)
