“Jeruk Garut: Warisan Emas yang Hampir Lenyap, Bangkit di Tengah Abu dan Wabah”

Loading

Garut,TRIBUNPRIBUMI com – Di balik sejuknya udara dataran tinggi Garut, tersembunyi kisah panjang sebuah buah yang pernah menjadi kebanggaan Nusantara Jeruk Garut. Buah berkulit oranye tebal dan beraroma khas ini bukan sekadar komoditas, melainkan simbol kejayaan ekonomi rakyat dan bukti kemampuan petani lokal mengangkat nama daerahnya hingga ke kancah dunia.

Namun sejarah tidak selalu manis seperti rasa jeruknya. Jeruk Garut telah melewati perjalanan getir yang panjang: dari kejayaan, kehancuran, hingga kebangkitan yang penuh harapan.

Jejak Sejarah dan Masa Keemasan

Sejarah mencatat, Jeruk Garut telah ada sejak abad ke-17, di masa kekuasaan Kesultanan Cirebon. Kala itu, buah ini menjadi komoditas perdagangan yang dikenal hingga ke Eropa pada masa penjajahan Belanda. Garut tak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena citrus-nya yang harum dan manis menjadi primadona ekspor dari tanah Priangan.

Puncak kejayaannya tercatat pada tahun 1987. Populasi pohon jeruk di Garut mencapai lebih dari 1,3 juta batang dengan produksi sekitar 26 ribu ton per tahun. Jalan-jalan di wilayah Bayongbong, Wanaraja, hingga Cilawu kala itu dipenuhi pemandangan kebun jeruk yang berbuah lebat. Jeruk Garut menjadi sumber penghidupan utama ribuan keluarga petani.

Duka dari Langit dan Wabah yang Menyapu Harapan

Namun keemasan itu tak bertahan lama. Letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982 menumpahkan abu vulkanik ke seluruh wilayah Garut. Ribuan hektar kebun jeruk tertimbun, banyak pohon mati, dan lahan menjadi tandus.

Belum sempat pulih dari bencana itu, muncul serangan penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) penyakit mematikan yang merusak sistem pembuluh tanaman jeruk. Dalam beberapa tahun, populasi jeruk Garut anjlok drastis. Tahun 1992 menjadi masa kelam bagi petani, ketika kebun-kebun mereka berubah menjadi ladang kering tanpa buah.

Pengakuan dan Upaya Kebangkitan

Meski terpuruk, jeruk ini tak sepenuhnya hilang. Pemerintah kemudian memberikan pengakuan resmi melalui SK Menteri Pertanian No. 760/KPTS.240/6/99 pada 22 Juni 1999. Jeruk Garut ditetapkan sebagai varietas unggul nasional dan dikenal sebagai Jeruk Keprok Garut I sebuah pengakuan atas keunikan dan kualitasnya yang khas.

Kini, setelah puluhan tahun berlalu, kebangkitan perlahan muncul kembali. Pemerintah daerah bersama kelompok tani berusaha menghidupkan kembali kebun jeruk dengan teknologi baru, bibit tahan penyakit, dan pola tanam berkelanjutan. Program revitalisasi kebun jeruk Garut mulai dijalankan di beberapa kecamatan, dengan dukungan lembaga penelitian dan Dinas Pertanian.

Namun tantangan belum berakhir. Hama, penyakit, dan perubahan iklim masih menjadi momok yang terus mengintai. Di sisi lain, minat generasi muda terhadap pertanian juga mulai menurun ancaman terselubung bagi keberlanjutan komoditas unggulan ini.

Saatnya Mengembalikan Martabat Jeruk Garut

Jeruk Garut bukan sekadar buah. Ia adalah identitas, kebanggaan, dan warisan ekonomi rakyat Garut. Kehilangannya sama dengan kehilangan bagian penting dari sejarah daerah. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat harus bersatu menjaga warisan ini, bukan hanya demi nostalgia, tetapi demi kedaulatan pangan dan ekonomi lokal.

Kebangkitan Jeruk Garut seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan bibit bantuan. Harus ada kebijakan nyata perlindungan lahan, riset genetik, dan insentif bagi petani agar tidak beralih ke tanaman lain. 

Di tengah ancaman globalisasi pangan, Jeruk Garut bisa menjadi simbol perlawanan: bahwa produk lokal masih bisa berjaya jika dirawat dengan cinta dan ilmu.

Dari abu Galunggung dan luka CVPD, Jeruk Garut kini berjuang bangkit lagi tidak sekadar sebagai buah, tetapi sebagai semangat yang menolak punah. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *