Oleh: Ridwan Mustopa (Dosen dan Praktisi Media)
TRIBUNPRIBUMI.com – Demokrasi tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari interaksi, perbedaan pendapat, dan bahkan konflik yang muncul di tengah masyarakat. Dalam sistem demokrasi, setiap suara memiliki hak untuk didengar, baik melalui pemilu maupun aksi kolektif seperti unjuk rasa. Karena itu, demonstrasi seharusnya tidak dianggap sebagai gangguan stabilitas, melainkan sebagai bagian sah dari proses demokrasi. Namun, bagaimana publik memahami fenomena ini sangat ditentukan oleh cara media memberitakan dan membingkai peristiwa.
Media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi. Lebih dari itu, media adalah pembentuk realitas sosial. Robert Entman dalam teori framing menegaskan bahwa media selalu memilih aspek tertentu dari sebuah peristiwa untuk ditonjolkan dan aspek lain untuk disamarkan. Pertanyaannya, ketika memberitakan unjuk rasa, aspek mana yang lebih sering disorot? Apakah wajah kericuhan, bentrokan, dan kerusakan fasilitas umum, atau substansi aspirasi rakyat yang menuntut keadilan dan kesejahteraan?
Tsunami Informasi dan Bias Konflik
Era digital membawa ledakan informasi yang tidak terbendung. Media sosial, dengan algoritmenya yang mengutamakan konten dramatis, sering kali menyebarkan potongan video kerusuhan, bentrokan, atau aksi saling dorong antara massa dan aparat. Dampaknya, publik lebih sering mengonsumsi narasi konflik ketimbang memahami latar belakang masalah. Fenomena ini menciptakan apa yang saya sebut sebagai “bias konflik.”
Ironisnya, media arus utama pun kerap terjebak dalam pola serupa. Pemberitaan lebih fokus pada jumlah korban, kerusakan fasilitas, dan ketegangan di lapangan, sementara substansi aspirasi masyarakat tenggelam. Padahal, jika media terus-menerus menekankan kericuhan, demokrasi direduksi menjadi panggung kekacauan semata, bukan sebagai ruang dialog yang konstruktif.
Media sebagai Jembatan Dialog
Sejatinya, media memiliki peran yang lebih mulia: menjadi jembatan dialog antara rakyat dan pemerintah. Dengan pemberitaan yang proporsional, media bisa menampilkan unjuk rasa sebagai ekspresi demokrasi yang damai. Lebih jauh lagi, media dapat membantu membentuk citra aparat. Polisi, misalnya, bisa digambarkan represif dan brutal, atau sebaliknya, sebagai pengawal demokrasi yang menjaga agar aspirasi rakyat tersampaikan tanpa kekerasan.
Melalui teori agenda setting dari McCombs dan Shaw, kita memahami bahwa isu yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting pula oleh publik. Jika media menekankan narasi aparat humanis dan substansi aspirasi rakyat, publik akan lebih percaya bahwa negara hadir untuk menjaga perdamaian, bukan hanya mempertahankan kekuasaan.
Tantangan Besar: Independensi Media
Namun, idealisme media tidak selalu berjalan mulus. Tekanan politik, kepentingan ekonomi, serta intervensi pemilik modal sering kali memengaruhi arah pemberitaan. Jika media terlalu dekat dengan penguasa, unjuk rasa bisa dicap sebagai ancaman. Sebaliknya, jika media berpihak pada kelompok tertentu, liputan bisa berubah menjadi alat provokasi.
Di sinilah letak tantangan besar pers Indonesia: bagaimana menjaga independensi dan tetap relevan di tengah arus deras media sosial. Tanpa independensi, media kehilangan kepercayaan publik. Tanpa kepercayaan publik, media akan gagal memainkan perannya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Damai Bukan Tanpa Kritik
Penting untuk digarisbawahi: Indonesia damai bukan berarti tanpa kritik. Justru, kritik adalah vitamin bagi demokrasi. Kedamaian sejati lahir bukan dari ketiadaan perbedaan, melainkan dari kemampuan mengelola perbedaan secara bermartabat. Dalam konteks ini, media berperan strategis sebagai penyalur aspirasi rakyat, penjaga ruang dialog, sekaligus penyeimbang agar kritik tidak berubah menjadi provokasi yang merusak.
Media sebagai Pilar Perdamaian
Indonesia damai adalah cita-cita bersama. Namun, cita-cita ini tidak akan terwujud hanya dengan menuntut kedisiplinan aparat atau kedewasaan massa aksi. Media pun harus mengambil tanggung jawabnya: memilih narasi yang mencerahkan, menyoroti substansi tuntutan rakyat, serta memosisikan diri sebagai instrumen perdamaian.
Jika media konsisten menjalankan etika jurnalistik memberikan informasi akurat, berimbang, dan berpihak pada kepentingan publik maka demokrasi Indonesia akan tumbuh sehat. Rakyat merasa didengar, pemerintah lebih terbuka, dan aparat dipercaya sebagai pengawal aspirasi, bukan sebagai alat represi.
Jalan Menuju Indonesia Damai
Demokrasi bukanlah panggung tanpa konflik. Perbedaan pandangan, kritik keras, dan aksi massa akan selalu hadir dalam perjalanan bangsa. Namun, peran media sangat menentukan: apakah perbedaan itu ditampilkan sebagai ancaman yang harus ditakuti, atau sebagai dinamika sehat dalam negara demokratis.
Jawabannya sepenuhnya ada di tangan media. Jika media berpihak pada akal sehat, kebenaran, dan kepentingan publik, maka Indonesia damai bukan sekadar retorika politik, melainkan kenyataan yang dapat kita wujudkan bersama.