Bandung,TRIBUNPRIBUMI.com – Di pinggir Jalan Gatot Subroto No. 248, Binong Jati, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung, Jawa Barat, sebuah bengkel tambal ban sederhana berdiri apa adanya. Di sanalah Heriyanto (66), yang akrab disapa Heri, menaruh seluruh harapan hidupnya.
Hampir empat dekade ia jalani pekerjaan ini dengan keteguhan hati. Bukan demi harta, melainkan demi satu hal: memastikan anak dan cucu tetap bisa makan.
Dengan tubuh yang mulai renta, Heri setiap hari duduk di bawah teriknya matahari. Suara kompresor tua, bau karet terbakar, dan deru kendaraan yang lalu lalang menjadi teman setianya. “Kalau dulu sehari bisa Rp150 ribu, sekarang paling Rp100 ribu, kadang cuma Rp75 ribu. Namanya juga tambal ban, nunggu musibah,” katanya dengan nada pasrah.
Beban Hidup yang Tak Pernah Berkurang
Meski penghasilan semakin menipis, kewajiban Heri sebagai kepala keluarga tidak pernah berkurang. Biaya makan sehari-hari, sewa tempat tinggal, hingga kebutuhan sekolah anak dan cucu tetap harus terpenuhi. Ketika rezeki seret, ia terpaksa berutang. “Kadang minjem ke bank keliling. Kalau nggak, keluarga bisa nggak makan,” tuturnya lirih.
Namun, dari pemerintah ia mengaku belum pernah mendapatkan bantuan, baik dalam bentuk modal usaha maupun peralatan kerja. Padahal, tambal ban adalah satu-satunya keterampilan yang ia kuasai.
“Kalau ada kerjaan lain juga udah nggak sanggup. Badan udah tua, lapangan kerja susah,” katanya.
Potret Pekerja Informal di Kota Besar
Kisah Heri adalah gambaran nyata perjuangan para pekerja sektor informal di kota besar. Data BPS Kota Bandung Agustus 2024 mencatat dari 1,254 juta orang yang bekerja, sekitar 545,1 ribu jiwa (43,45 persen) bergantung pada sektor informal. Mereka hidup tanpa jaminan penghasilan tetap, tanpa perlindungan ketenagakerjaan, dan sering luput dari perhatian pemerintah.
Di tingkat Jawa Barat, kondisi lebih mencengangkan. Data 2023 menunjukkan ada sekitar 12,96 juta pekerja informal, meningkat dari 12,81 juta pada 2022 dan 12,19 juta pada 2021. Angka ini menandakan betapa besarnya jumlah masyarakat yang menggantungkan hidup dari pekerjaan serabutan, mulai dari pedagang kaki lima, tukang becak, hingga tukang tambal ban seperti Heri.
“Pekerja informal rentan miskin karena pendapatan mereka tidak menentu dan tidak terlindungi jaminan sosial,” ujar seorang analis ketenagakerjaan dari Universitas Padjadjaran, ketika dimintai tanggapan mengenai fenomena ini.
Bertahan Meski Usia Menjadi Batas
Heri sadar fisiknya tak lagi sekuat dulu. Punggung yang mulai sering nyeri, tangan yang mudah gemetar, dan penglihatan yang berkurang tidak menghentikan langkahnya.
“Kalau saya berhenti, siapa yang kasih makan keluarga? Jadi meski capek, harus tetap dijalani,” ungkapnya.
Bengkel kecilnya seringkali sepi pelanggan. Namun, Heri tak mau menyerah. Ia tetap menyalakan kompresornya setiap pagi, berharap ada pengendara yang membutuhkan jasanya.
Harapan Akan Uluran Tangan
Meski terbiasa hidup dalam keterbatasan, Heri tetap menyimpan harapan sederhana. Ia berharap ada sedikit uluran tangan agar usahanya bisa berjalan lebih ringan. “Kalau ada bantuan modal atau peralatan, mungkin bisa lebih ringan kerja. Saya nggak muluk-muluk, yang penting usaha ini tetap jalan, keluarga nggak kesusahan,” ucapnya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sendiri pada 2025 mulai menggagas program perlindungan ketenagakerjaan untuk pekerja informal. Namun, bagi banyak orang seperti Heri, program itu masih sebatas wacana yang belum sampai ke mereka.
Cinta Seorang Ayah dan Kakek
Heri adalah bukti nyata bahwa hidup adalah perjuangan tanpa henti. Di tengah teriknya matahari, dinginnya malam, dan kerasnya kehidupan kota, ia menunjukkan arti tanggung jawab seorang kepala keluarga. Cinta seorang ayah dan kakek tidak padam meski fisik melemah dan penghasilan menurun.
“Yang penting anak cucu bisa makan. Itu saja cukup bagi saya,” kata Heri menutup perbincangan, sambil kembali menambal ban bocor seorang pelanggan. (Agus.S)