Gugatan Ahli Waris H. Nana Rumantana Bongkar Dugaan Kekeliruan Fatal Bupati Bandung Barat: Tanah Sekolah Diduga Milik Pribadi!

Loading

Bandung Barat,TRIBUNPRIBUMI.com –  Sebuah gugatan bernuansa hukum dan moral kini menyeruak ke permukaan. Para ahli waris almarhum H. Nana Rumantana resmi menggugat Bupati Bandung Barat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, menyoal keputusan kepala daerah yang dianggap melanggar hak waris dan prinsip dasar pemerintahan yang bersih.

Gugatan itu bukan perkara kecil. Dalam Nomor Perkara 183/G/2025/PTUN.BDG, ahli waris menuntut pembatalan Keputusan Bupati Bandung Barat Nomor: 100.3.3.2/Kep.840-BKAD/2023, tertanggal 21 September 2023. 

Sementara keputusan tersebut menetapkan sebidang tanah di Desa Cimareme, Kecamatan Padalarang, sebagai Barang Milik Daerah (BMD), padahal berdasarkan dokumen resmi, lahan seluas 700 meter persegi itu merupakan milik sah H. Nana Rumantana.

Dari Tanah Pinjaman Jadi Barang Milik Daerah

Berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 73/Pdl/1970 tertanggal 20 Januari 1970, tanah itu dibeli secara sah oleh H. Nana Rumantana dari warga setempat, disahkan oleh Camat Padalarang sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tak ada catatan transaksi berikutnya, tak ada pelepasan hak, dan tak pernah ada surat hibah ataupun jual beli lanjutan kepada pemerintah daerah.

Namun sejarah berubah pada tahun 1973. Kepala Desa Cimareme saat itu, almarhum H. M. Sukardi, memohon izin secara lisan kepada H. Nana Rumantana untuk meminjam tanah tersebut sebagai lokasi pembangunan sekolah dasar sebuah permintaan yang dikabulkan demi kepentingan pendidikan masyarakat.

“Almarhum waktu itu hanya bilang, ‘silakan dipakai dulu buat sekolah, nanti kalau sudah ada lahan lain, kembalikan lagi’. Tidak ada surat hibah, tidak ada peralihan hak,” ungkap salah satu ahli waris, menahan kecewa saat di wawancarai awak media pada. Jum’at, (31/10/2025).

Namun sejak H. Nana Rumantana wafat pada tahun 1980, lahan tersebut tak pernah dikembalikan. Sekolah tetap berdiri, dan pemerintah daerah justru kemudian memasukkan tanah itu dalam daftar aset milik daerah, tanpa komunikasi maupun kompensasi kepada pihak ahli waris.

Keputusan Bupati yang Dipersoalkan

Puncak persoalan terjadi pada tahun 2023, ketika Bupati Kabupaten Bandung Barat menandatangani surat keputusan tentang Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Daerah Berupa Tanah Sekolah Dasar di lokasi tersebut.

Langkah ini dianggap sepihak dan melanggar asas hukum administrasi negara, karena tidak pernah ada proses klarifikasi atau pemberitahuan kepada ahli waris selaku pemilik sah.

Para ahli waris menilai keputusan itu melanggar asas pemerintahan yang baik, yakni asas kepastian hukum, asas kecermatan, dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

“Bupati tidak bisa serta-merta menetapkan tanah milik warga menjadi milik daerah tanpa dasar hukum yang sah. Tidak ada akta pelepasan hak, tidak ada putusan pengadilan, dan tidak ada berita acara peralihan,” tegas kuasa hukum ahli waris dari Biro Bantuan Konsultasi Hukum Universitas Islam Nusantara (Uninus).

Asas Hukum dan Fakta Lapangan

Dalam audiensi dengan pihak keluarga, Hendri Darma Putra, S.H., M.H, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara, memberikan pendapat hukum mendalam.

“Berdasarkan asas presumptio justae causa atau praduga keabsahan, Akta Jual Beli Nomor 73/Pdl/1970 yang dikeluarkan PPAT Kecamatan Padalarang dan Surat Keterangan Desa Nomor 100/387/2009.DS/IX/Pem adalah bukti sah kepemilikan tanah H. Nana Rumantana. Kecuali ada bukti sebaliknya yang dapat menggugurkan keabsahan itu, maka secara hukum tanah tersebut tetap milik ahli waris,” ujarnya.

Lebih jauh, Hendri juga mengingatkan soal asas contrarius actus dalam hukum administrasi, yang memberi wewenang kepada pejabat TUN untuk mencabut atau membatalkan keputusan yang terbukti keliru.

“Apabila di kemudian hari terbukti ada kesalahan atau kekeliruan dalam keputusan Bupati, maka pejabat yang bersangkutan berkewajiban meninjau ulang dan memperbaikinya,” tegas Hendri.

Dengan demikian, kata dia, Bupati Bandung Barat memiliki kewajiban moral dan hukum untuk meninjau ulang keputusan tersebut apabila terbukti terdapat cacat administrasi.

Kerugian Nyata bagi Keluarga Pewaris

Bagi para ahli waris, persoalan ini bukan semata-mata soal nominal atau kepemilikan, tetapi tentang keadilan dan penghormatan terhadap hak keluarga.

“Sudah lebih dari 50 tahun kami menunggu. Tanah itu warisan orang tua kami, bukan milik negara. Kami tidak menolak pendidikan, tapi tolong kembalikan hak kami atau berikan ganti rugi yang layak,” ujar perwakilan keluarga dengan nada tegas.

Pihak keluarga juga menilai tindakan pemerintah daerah telah menimbulkan kerugian materil dan immateril, sebab mereka tidak pernah bisa memanfaatkan hak waris, sementara pihak lain justru menjadikan lahan tersebut sebagai aset pemerintah.

Potret Buram Pengelolaan Aset Daerah

Kasus ini menyoroti masalah klasik pengelolaan aset di daerah, di mana banyak tanah warga yang dahulu “dipinjam” untuk fasilitas umum, kemudian berubah status tanpa kejelasan hukum.
 

Di sisi lain,adanya praktik semacam ini mencerminkan lemahnya pendataan dan verifikasi aset pemerintah, serta rawannya penyalahgunaan kewenangan administratif di tingkat daerah.

“Pemerintah harusnya berhati-hati. Jika tindakan administratif seperti ini terus terjadi, maka bukan hanya melanggar hukum, tapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah,” tambah Hendri Darma Putra.

Menanti Putusan dan Keberanian Moral

Kini, perkara tersebut sudah resmi berjalan di PTUN Bandung, memasuki tahap pemeriksaan persiapan. Para ahli waris berharap, majelis hakim dapat melihat fakta hukum secara objektif dan menegakkan keadilan berdasarkan bukti otentik yang mereka miliki.

“Yang kami cari bukan hanya kepemilikan, tapi juga kebenaran. Jangan sampai pemerintah menjadi pihak yang justru menindas rakyat kecil dengan kebijakan yang menyalahi aturan,” tegas kuasa hukum ahli waris.
Sengketa ini menjadi cerminan nyata bahwa di balik pembangunan dan jargon pelayanan publik, ada luka lama yang belum sembuh luka dari janji yang pernah diucapkan secara lisan setengah abad lalu, tentang tanah yang dipinjam atas nama pendidikan, namun berakhir menjadi sengketa waris yang menguji moralitas pejabat publik. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *