Diduga Ada Aroma Penyalahgunaan Wewenang di PN Depok: Dana Konsinyasi Tol Depok–Antasari Cair Sepihak, MA dan KY Diminta Turun Tangan

Loading

Jakarta,TRIBUNPRIBUMI.com – Satu lagi potret buram peradilan terkuak di tubuh lembaga hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencari keadilan. Kepala Pengadilan Negeri (PN) Depok Kelas IA kini menjadi sorotan publik setelah muncul dugaan serius penyalahgunaan wewenang dalam pencairan dana konsinyasi pengadaan tanah untuk proyek Jalan Tol Depok–Antasari.

Dana bernilai puluhan miliar rupiah yang semestinya dititipkan di kas pengadilan, diduga dicairkan kepada salah satu pihak, sementara status kepemilikan tanah masih dalam sengketa dan belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Di balik angka-angka besar itu, ada seorang warga yang haknya diabaikan, Drs. Muchdan Bakrie, ahli waris sah atas sebagian tanah waris keluarga besar Bakrie di kawasan Rangkapan Jaya, Depok.

Konsinyasi Miliaran Rupiah, Tapi Hak Tak Sampai ke Tangan

Berdasarkan dokumen resmi yang diperoleh redaksi, Drs. Muchdan Bakrie tercantum sebagai pihak termohon dalam dua penetapan konsinyasi di PN Depok:

Nomor 1/Pdt.P/Cons/2019/PN.Dpk. tertanggal 13 Agustus 2019 dengan nilai Rp12.573.179.589,-,

Nomor 9/Pdt.P/Cons/2019/PN.Dpk. tertanggal 5 Desember 2019 senilai Rp13.520.639.456,-.

Total lebih dari Rp26 miliar dana ganti rugi proyek tol itu dititipkan di PN Depok oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Tanah Jalan Tol Depok–Antasari, dengan pihak-pihak terkait yakni Mohammad Raisully, Winardi Prawira Aten, dan Drs. Muchdan Bakrie.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pencairan konsinyasi tersebut telah dilakukan kepada salah satu pihak, tanpa melibatkan Drs. Muchdan Bakrie padahal namanya jelas tercantum dalam dokumen penetapan.
Langkah PN Depok ini sontak menimbulkan tanda tanya besar: atas dasar hukum apa dana itu bisa dicairkan sepihak?

Bertentangan dengan Aturan Mahkamah Agung

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Perma Nomor 3 Tahun 2016 dengan tegas mengatur, bahwa:

“Dalam hal objek pengadaan tanah sedang menjadi objek perkara di pengadilan atau masih dipersengketakan, ganti kerugian hanya dapat diambil oleh pihak yang berhak setelah terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau akta perdamaian.”

Dengan kata lain, pencairan dana konsinyasi tanpa adanya putusan final dan mengikat jelas melanggar hukum.
Namun ironisnya, menurut sejumlah sumber hukum, Ketua PN Depok saat ini justru mendasarkan pencairan tersebut hanya pada hasil telaahan internal, bukan pada putusan pengadilan.

“Ini pelanggaran serius,” ujar seorang pengamat hukum yang enggan disebut namanya kepada awak media Kamis (09/10/2025).

“Putusan lama bersifat negatif artinya tidak bisa menentukan siapa yang paling berhak, sehingga dana konsinyasi harus tetap disimpan di pengadilan. Tapi sekarang malah bisa cair hanya dengan ‘telaahan’. Ini aneh dan berbahaya.”

Dugaan Kejanggalan Riwayat Tanah

Tanah yang disengketakan bukan tanah biasa. Berdasarkan dokumen Girik Letter C No.1730 Nomor 123 Persil 17 D.I dengan luas 12,95 hektare, lahan tersebut adalah tanah waris keluarga Muchdan Bakrie yang sebagian seluas 2,4 hektare terdampak proyek jalan tol.

Namun, dua pihak lain yang juga disebut dalam penetapan konsinyasi, Mohammad Raisully dan Winardi Prawira Aten, dikabarkan memiliki asal usul sertifikat yang tidak selaras dengan riwayat tanah di wilayah Rangkapan Jaya.

Hal ini diperkuat oleh dua surat keterangan dari Lurah Rangkapan Jaya, Kecamatan Pancoran Mas, yakni:

Nomor 593.2/02-Pem tertanggal 25 Maret 2024, dan Nomor 593/36/V/2024 tertanggal 7 Mei 2024.

Dalam kedua surat tersebut dijelaskan bahwa Letter C 1904 Persil 6 D.II milik Raisully tidak pernah tercatat di wilayah Rangkapan Jaya, dan Letter C 2303 Persil 17 D.I milik Winardi berbeda dengan catatan resmi yang tercantum sebagai Persil 110 D.II.
 

Dengan demikian, klaim mereka atas lahan yang menjadi objek proyek tol patut dipertanyakan.

Langkah Hukum: Dari PN Depok ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial

Merasa haknya dicederai, Drs. Muchdan Bakrie tidak tinggal diam. Ia telah mengirim surat keberatan resmi kepada Kepala PN Depok, serta melayangkan surat pengaduan ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) agar institusi tinggi peradilan itu segera menelusuri dugaan pelanggaran prosedural dan etika yudisial.

Dalam suratnya, Muchdan menegaskan:

“Saya sebagai pihak yang berhak menerima uang ganti rugi namun tidak mendapatkannya, padahal nama saya jelas tercantum dalam dua penetapan konsinyasi. Pembayaran sepihak ini jelas merugikan dan tidak sesuai hukum.”

Menguji Integritas Lembaga Peradilan

Kasus ini bukan sekadar sengketa tanah, melainkan ujian terhadap integritas lembaga peradilan. Jika benar ada pencairan dana konsinyasi tanpa dasar hukum yang kuat, maka publik pantas mempertanyakan bagaimana mekanisme pengawasan internal di PN Depok bekerja.

Prinsip konsinyasi adalah jaminan netralitas pengadilan tempat aman bagi dana ganti rugi sebelum diputus siapa yang paling berhak. Jika fungsi itu dilanggar, maka kepercayaan masyarakat terhadap peradilan bisa runtuh.

Seorang mantan pejabat pengadilan yang dimintai tanggapan mengatakan:

“Kasus seperti ini bisa mencoreng citra pengadilan. Kalau uang konsinyasi saja bisa cair tanpa putusan inkracht, lalu apa artinya asas kepastian hukum? Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa menjurus ke pidana.”

Desakan Publik untuk Audit dan Evaluasi

Kalangan praktisi hukum di Jakarta dan Depok kini mendorong agar Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial segera turun tangan melakukan audit menyeluruh terhadap mekanisme pencairan konsinyasi di PN Depok.
 

Tujuannya jelas: memastikan tidak ada praktik penyalahgunaan wewenang yang menodai marwah lembaga peradilan.

Selain itu, publik juga mendesak Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung untuk memeriksa proses administrasi, serta menelusuri aliran dana konsinyasi yang sudah dicairkan.

Karena, jika terbukti ada pelanggaran dalam pencairan tersebut, sanksi etik hingga pidana bisa menanti pejabat pengadilan yang terlibat.

Keadilan yang Dipertaruhkan

Kasus Muchdan Bakrie di PN Depok menjadi potret kecil dari persoalan besar di tubuh penegakan hukum: ketika lembaga yang seharusnya menjamin keadilan justru diduga melanggar prinsip keadilan itu sendiri.

Kini bola panas berada di tangan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
 

Masyarakat menunggu langkah tegas apakah kasus ini akan dibuka terang-benderang, atau kembali tenggelam dalam diam seperti banyak kasus serupa sebelumnya. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *