Aktivis Kebijakan Publik dan Sosial, Undang Herman: BLT DBHCHT Garut 2025 Diduga Sarat Masalah, Menyisakan Luka dan Pertanyaan Siapa Bertanggung Jawab?

Loading

Garut,TRIBUNPRIBUMI.com – Kisruh penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di Kabupaten Garut, Jawa Barat tahun 2025 kembali menyeruak ke publik. Aktivis Kebijakan Publik dan Sosial, Undang Herman, menilai program tersebut bukan hanya gagal menyentuh sasaran, tetapi juga sarat penyimpangan yang berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

Dalam keterangannya, Undang menyebut penyaluran BLT DBHCHT 2025 telah menjadi potret buram tata kelola bantuan sosial. Alih-alih menjadi solusi, program ini justru menghadirkan luka sosial dan meninggalkan tanda tanya besar: siapa yang harus bertanggung jawab?

Petani dan Buruh Tani Jadi Penonton

Undang menyoroti bahwa banyak petani dan buruh tani tembakau yang seharusnya menjadi penerima utama bantuan malah terpinggirkan. Mereka hanya menjadi penonton dari sebuah “pentas bantuan” yang justru dinikmati pihak-pihak yang tak ada kaitannya dengan sektor tembakau.

“Bagaimana mungkin orang yang tidak paham apa-apa tentang tembakau bisa mendapatkan bonus akhir tahun dari DBHCHT, sementara petani yang jelas-jelas hidup dari tembakau justru dibiarkan?” ujarnya dengan nada geram saat dimintai keterangan awak media. Jum’at, (19/09/2025).

Dugaan Pemotongan Kasar dan Bancakan Oknum

Lebih jauh, Undang mengungkap adanya dugaan pemotongan dana secara kasar oleh oknum yang memanfaatkan celah distribusi. Ia menuding praktik bancakan masih menjadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh dalam setiap penyaluran BLT DBHCHT.

“Sudah menjadi rahasia umum, ada instruksi dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan potongan. Uang yang seharusnya sampai ke rakyat malah berhenti di tangan oknum. Ini bukan sekadar kecurangan kecil, tapi perampokan hak masyarakat,” tegasnya.

Selain itu, Undang menilai sistem penyaluran yang tidak transparan telah membuka ruang bagi para “pemburu rente” untuk bergerak bebas. Ia menyebut fenomena ini seperti “berjamurnya pemburu handal di kebun binatang”, di mana semua pihak sibuk merebut bagian tanpa peduli pada aturan.

Pimpinan Kecamatan Jadi Kambing Hitam

Ironisnya, kata Undang, sejumlah pimpinan kecamatan dijadikan kambing hitam. Padahal, persoalan BLT DBHCHT ini bukan hanya soal eksekusi di lapangan, melainkan ada indikasi persoalan di level kebijakan dan pengawasan.

“Banyak rekan di tingkat kecamatan dikorbankan, seakan-akan mereka yang bersalah. Padahal mereka hanya menjalankan instruksi. Ini cara kotor untuk menutupi masalah di atas,” ungkapnya.

Kasus yang “Menguap”

Undang juga mempertanyakan mengapa setiap kali muncul aduan, laporan, bahkan audiensi resmi, kasus ini selalu berakhir tanpa tindak lanjut nyata. Ia menggambarkan kasus DBHCHT seperti embun pagi yang cepat menguap namun meninggalkan bekas dingin dan lembab.

“Sudah berkali-kali dilaporkan, tapi mengapa seakan hilang begitu saja? Apakah karena ada kepentingan besar yang dilindungi? Pertanyaan publik sederhana: sampai kapan hal ini dibiarkan?” katanya.

Seruan Tegas untuk Pemerintah Daerah

Dalam pernyataannya, Undang Herman mendesak Bupati Garut dan Dinas Sosial untuk tidak lagi menutup mata. Ia meminta audit independen segera dilakukan, daftar penerima bantuan dipublikasikan secara terbuka, dan oknum-oknum yang bermain harus ditindak secara hukum.

“Kalau dibiarkan, saya yakin oknum-oknum ini sedang menyiapkan strategi baru yang lebih rapi, lebih cerdik, dan lebih sulit terdeteksi. Mereka sedang ancang-ancang merampok lagi. Pertanyaannya sederhana, siapa yang akan bertanggung jawab atas semua kekisruhan ini? Bupati? Kadinsos? Atau kita biarkan publik terus menjadi korban?” tandasnya.

Catatan:

Pernyataan Undang Herman ini menjadi alarm keras menjelang penyaluran BLT DBHCHT berikutnya. Garut pernah menjadi sorotan nasional karena kontroversi DBHCHT 2025 yang viral. Kini, publik menanti apakah pemerintah daerah akan bertindak tegas atau justru membiarkan luka lama kembali terulang.

“Garut harus belajar dari sejarah, jangan sampai setiap bantuan yang turun justru menjadi pesta pora oknum. Jika pemerintah daerah tidak berani menindak, maka Garut akan terus dikenang bukan karena keberhasilan program sosialnya, melainkan karena kisruh dan ketidakadilannya,” (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *