(Oleh: Diki Kusdian Pemred Tribunpribumi)
Artikel,TRIBUNPRIBUMI.com – Tiga puluh tahun hampir genap. Dua puluh sembilan tahun sudah aku menjalani jalan panjang yang disebut jurnalisme sebuah dunia yang penuh warna, di mana idealisme, realita, dan pengabdian berpadu menjadi satu kesatuan.
Namun jika ditanya apa arti menjadi jurnalis, jawabannya tidak sesederhana “pekerjaan menulis berita.” Jurnalisme adalah perjalanan hidup, sebuah panggilan jiwa, dan sebuah pengabdian yang tak kenal lelah.
Awal Perjalanan: Api Idealisme yang Membara
Saat pertama kali menapaki profesi ini, aku masih muda, penuh semangat, dan dipenuhi oleh api idealisme. Ada rasa bangga bisa menyuarakan suara rakyat, menuliskan kebenaran, dan membuka mata banyak orang tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara bagiku, menjadi jurnalis adalah menjadi penjaga nurani bangsa mereka yang berdiri di garis depan untuk melawan kebohongan dengan pena dan kata-kata.
Di masa-masa itu, aku percaya bahwa setiap tulisan mampu mengubah sesuatu. Ketika berita dimuat dan memberi manfaat bagi orang kecil, ketika liputan membuka jalan bagi kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat, aku merasa bahwa jerih payahku terbayar. Itulah saat di mana idealisme menjelma menjadi energi yang tak ternilai.
Realita: Antara Tekanan dan Tantangan
Namun, idealisme tidak selalu berjalan mulus. Dunia jurnalistik adalah dunia yang keras. Aku sering berhadapan dengan kenyataan pahit: tekanan dari pihak-pihak yang tak senang dengan berita yang kuangkat, ancaman yang datang tanpa diduga, bahkan fitnah yang diarahkan untuk membungkam.
Ada kalanya berita yang kutulis harus ditunda atau bahkan dipangkas karena pertimbangan politik atau kepentingan ekonomi media. Ada pula saat di mana aku harus memilih untuk diam demi keselamatan diri dan keluarga. Semua itu adalah realita yang harus diterima, meskipun hatiku sering bergolak karena merasa tidak bisa menyampaikan seluruh kebenaran.
Di sinilah aku belajar, bahwa menjadi jurnalis bukan hanya soal menulis, tetapi juga tentang bertahan. Bertahan dengan segala keterbatasan, bertahan dengan segala resiko, dan tetap berdiri tegak meski dihantam badai.
Pengabdian: Nafas yang Tak Pernah Padam
Di balik suka dan duka, ada satu hal yang membuatku tetap setia: pengabdian. Aku sadar, profesi ini bukan sekadar pekerjaan untuk mencari nafkah. Jurnalisme adalah dedikasi, sebuah pengabdian pada kebenaran, pada masyarakat, dan pada sejarah.
Aku percaya, setiap berita yang ditulis dengan hati akan meninggalkan jejak. Jejak itu bisa jadi pengingat, bisa jadi penggerak, atau bisa jadi pelindung bagi mereka yang tak punya suara. Pengabdian inilah yang membuatku terus melangkah, meski jalan berliku.
Tangis dan Kehilangan di Balik Lensa dan Pena
Perjalanan panjang ini juga menyisakan banyak tangis. Aku pernah kehilangan sahabat seprofesi yang gugur ketika menjalankan tugas. Aku pernah merasakan pedihnya meninggalkan keluarga di rumah hanya demi mengejar deadline. Ada masa ketika anak-anak tumbuh besar tanpa banyak ditemani, karena aku lebih sering berada di lapangan ketimbang di rumah.
Rasa bersalah itu nyata, tapi aku percaya keluarga juga memahami bahwa pekerjaanku bukan sekadar mencari nafkah. Mereka tahu, aku sedang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar: menyuarakan kebenaran.
Bahagia: Ikatan, Kenangan, dan Makna
Meski penuh tantangan, tak bisa kupungkiri bahwa ada banyak kebahagiaan dalam profesi ini. Aku bertemu orang-orang hebat, dari pejabat tinggi hingga rakyat kecil yang kisah hidupnya menginspirasi.
Di lain sisi, setiap liputan adalah pengalaman berharga. Setiap catatan adalah bagian dari sejarah. Dan setiap ucapan terima kasih dari masyarakat adalah obat yang menyembuhkan segala luka.
Kebahagiaan ini bukanlah harta, bukan pula pujian. Kebahagiaan seorang jurnalis adalah ketika tulisannya berguna, ketika fakta yang disampaikan mampu membuka mata, dan ketika kebenaran yang sederhana bisa menyelamatkan banyak orang.
Jalan Hidup Seorang Jurnalis
Kini, setelah 29 tahun, aku semakin yakin: jurnalisme adalah jalan hidup yang kupilih dengan sepenuh hati. Ia bukan sekadar profesi, melainkan pengabdian yang menyatu dengan jiwa. Idealisme, realita, dan pengabdian adalah tiga pilar yang membuatku terus bertahan hingga hari ini.
Selama masih ada napas, aku akan terus menulis. Selama masih ada ruang, aku akan terus menyuarakan kebenaran. Karena bagiku, jurnalis bukan sekadar pekerjaan ia adalah bagian dari diriku, warisan hidup yang tak akan pernah padam.