Cirebon,TRIBUNPRIBUMI.com – Persoalan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kopiluhur yang berada di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, kembali menjadi sorotan publik. Polemik ini mencuat lantaran pemerintah dinilai gagal menjalankan rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menghentikan praktik open dumping yang telah lama meresahkan masyarakat.
Ketua DPD Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Provinsi Jawa Barat, Khoirul Anwar, S.Pd.I., menyampaikan kritik keras terhadap Pemerintah Kota Cirebon yang dianggap tidak serius menangani masalah TPA Kopiluhur. Ia menegaskan, sejak 7 Maret 2025, KLHK sudah menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah dengan tenggat waktu 180 hari agar sistem pengelolaan sampah diubah dari open dumping menjadi sanitary landfill atau minimal controlled landfill.
“Namun faktanya, hingga jatuh tempo hari ini, 30 September 2025, belum ada penyelesaian yang berarti. Pemerintah Kota Cirebon terkesan tidak serius dalam menindaklanjuti instruksi KLHK,” ujar Anwar. Selasa, (30/09/2025).
Menurutnya, permasalahan ini bukan hanya soal teknis pengelolaan sampah, melainkan juga menyangkut komitmen dan integritas pemerintah daerah dalam menjalankan amanat undang-undang. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, telah menegaskan bahwa jika Pemkot Cirebon tidak melaksanakan rekomendasi dalam jangka waktu 180 hari, maka bisa dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 114 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Evaluasi Dinas Lingkungan Hidup dan Sorotan Publik
Anwar menilai, Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan masalah ini. Namun, hingga kini belum terlihat adanya langkah konkret yang signifikan.
“Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon. Jangan ada mutasi, rotasi, atau promosi jabatan terlebih dahulu bagi pejabat yang diduga terlibat dalam persoalan ini. Fokus utama adalah menuntaskan permasalahan TPA Kopiluhur,” tegasnya.
Fatwa Haram dari Ulama NU
Tidak hanya kelompok pegiat lingkungan, kalangan ulama pun ikut menyoroti masalah ini. Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCNU Kota Cirebon melakukan musyawarah dan kajian mendalam mengenai pengelolaan TPA Kopiluhur. Hasilnya, para ulama memutuskan bahwa praktik pengelolaan sampah di TPA Kopiluhur hukumnya haram.
Kajian tersebut merujuk pada sumber primer seperti Al-Qur’an, hadis, dan kitab-kitab klasik. Para ulama menyimpulkan bahwa pengelolaan TPA Kopiluhur telah menimbulkan kemudharatan besar, di antaranya pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, serta tercemarnya air bersih warga sekitar.
“Ini persoalan serius. TPA Kopiluhur sudah menimbulkan dampak buruk terhadap masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, kami nyatakan hukumnya haram,” demikian hasil musyawarah Bahtsul Masail PCNU Kota Cirebon.
Warga Mengeluh, Sumur Tercemar
Keluhan warga pun semakin menguat. Pengasuh Pondok Pesantren Benda Kerep, DR. KH. Miftah Faqih, MA., menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat sekitar TPA Kopiluhur, terutama di Kampung Kalilunyu dan Kampung Sumurwuni.
“Benar-benar memprihatinkan. Sumur warga tercemar limbah dari TPA Kopiluhur. Air yang seharusnya layak konsumsi kini tidak bisa dipakai. Kondisi ini sudah lama berlangsung dan sangat merugikan masyarakat,” ungkap KH. Miftah.
Janji LAKI untuk Mengawal Kasus
DPD LAKI Jawa Barat berkomitmen untuk terus mengawal persoalan TPA Kopiluhur hingga tuntas. Anwar menegaskan bahwa lembaganya tidak akan tinggal diam melihat persoalan yang dinilai sudah berlarut-larut ini.
“Kami akan mengawal proses penyelesaian TPA Kopiluhur sampai selesai, tanpa harus ada rotasi atau mutasi pejabat di Dinas Lingkungan Hidup Kota Cirebon terlebih dahulu. Masalah ini harus dituntaskan secepatnya,” pungkasnya.
Catatan
Kasus TPA Kopiluhur bukan hanya menggambarkan lemahnya tata kelola sampah di Kota Cirebon, tetapi juga menunjukkan bagaimana dampak buruk lingkungan dapat menimbulkan keresahan sosial, bahkan sampai melahirkan fatwa keagamaan.
Jika tidak segera ditangani, persoalan ini berpotensi menjadi bom waktu yang lebih besar, baik dari sisi kesehatan masyarakat maupun stabilitas sosial di wilayah tersebut. (Red)