Garut,TRIBUNPRIBUMI.com –
Dunia pendidikan Kabupaten Garut kembali diguncang isu serius. Seorang Kepala Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Cibalong diduga melakukan rangkap jabatan dengan mengaku sebagai pembina media. Pernyataan lantang dari sang kepala sekolah itu justru menimbulkan kegaduhan, mengingat jabatan publik yang diembannya seharusnya menuntut profesionalisme penuh di bidang pendidikan.
Ironisnya,Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Garut, Jawa Barat hingga kini terlihat bungkam. Tidak ada langkah konkret, tidak ada pernyataan resmi, bahkan seakan-akan menutup mata terhadap dugaan pelanggaran yang jelas-jelas menimbulkan konflik kepentingan.
Rangkap Jabatan, Benturan Kepentingan
Sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagai regulasi turunan lainnya, seorang kepala sekolah adalah pejabat struktural yang diberi kewenangan penuh dalam mengelola satuan pendidikan. Ia dituntut untuk fokus pada peningkatan mutu sekolah, manajemen guru, hingga pelayanan peserta didik.
Namun, fakta bahwa ada kepsek yang secara terbuka mengaku menjadi pembina media menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin seorang pejabat publik pendidikan sekaligus menduduki posisi yang secara etis bisa memengaruhi opini publik? Apakah tidak terjadi benturan kepentingan ketika seorang kepala sekolah memiliki “kendali moral” atas media yang seharusnya independen?
Pakar hukum tata pemerintahan menilai, rangkap jabatan semacam ini bukan hanya melanggar etika, tapi juga dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan.
“Seorang kepsek adalah abdi negara. Begitu ia merangkap jabatan di luar koridor pendidikan, terlebih di sektor yang rawan konflik kepentingan seperti media, jelas ada potensi pelanggaran hukum,” ujar salah satu praktisi hukum Garut, saat dimintai tanggapan oleh awak media pada. Selasa, (23/09/2025).
Pemkab dan Disdik Garut Diduga Bungkam
Yang lebih memprihatinkan, Pemkab dan Disdik Garut diduga memilih diam. Hingga kini tidak ada klarifikasi, apalagi tindakan tegas yang dilakukan. Sikap bungkam ini menimbulkan dugaan publik bahwa Disdik sengaja menutup mata dan membiarkan persoalan berlarut-larut.
Padahal, jika dibiarkan, masalah ini bisa merusak citra lembaga pendidikan sekaligus menurunkan wibawa pemerintah daerah. Diamnya Disdik Garut dianggap sebagai pembiaran, yang pada akhirnya bisa menimbulkan preseden buruk bagi kepala sekolah lainnya.
“Kalau Disdik diam, sama saja memberi sinyal bahwa rangkap jabatan boleh dilakukan. Ini jelas bahaya, sebab kepala sekolah bisa kehilangan fokus, sementara media yang seharusnya netral justru berpotensi dijadikan alat kepentingan,” tegas seorang pemerhati pendidikan Garut.
Publik Minta Tindakan Tegas
Masyarakat kini menunggu langkah nyata. Publik mendesak agar Pemkab Garut, khususnya Disdik, tidak hanya bersembunyi di balik diam, tetapi segera melakukan investigasi mendalam. Apabila benar terbukti ada rangkap jabatan, maka harus ada sanksi tegas, sesuai aturan disiplin pegawai negeri maupun regulasi yang berlaku.
“Jangan sampai dunia pendidikan tercoreng hanya karena seorang pejabat sekolah main-main dengan jabatan. Jika ingin jadi pembina media, silakan mundur dulu dari jabatan kepala sekolah,” ujar salah seorang tokoh masyarakat di Cibalong.
Polemik ini bukan sekadar soal pribadi seorang kepsek, melainkan cerminan lemahnya pengawasan institusi pendidikan di Garut. Jika persoalan ini dibiarkan, publik akan menilai Disdik Garut tidak lagi memiliki keberanian untuk menegakkan aturan dan menjaga marwah dunia pendidikan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Disdik Garut masih belum memberikan pernyataan resmi. Publik pun masih menunggu, apakah pemerintah daerah akan benar-benar mengambil sikap tegas, atau justru membiarkan kasus ini tenggelam tanpa penyelesaian. (*)