Garut,TRIBUNPRIBUMI.com – Jagat raya kembali memperlihatkan keagungannya. Pada malam Minggu hingga Senin dini hari, 7–8 September 2025, masyarakat Indonesia berkesempatan menyaksikan fenomena langit langka, yakni Gerhana Bulan Total atau yang populer dikenal dengan istilah Blood Moon.
Fenomena yang hanya sesekali terjadi ini dipastikan dapat terlihat dari hampir seluruh wilayah Indonesia, asalkan kondisi cuaca mendukung. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, gerhana akan berlangsung lebih dari lima jam dengan fase totalitas sekitar 82 menit, di mana bulan tampak memerah akibat pembiasan cahaya matahari oleh atmosfer bumi.
Rangkaian Fase Gerhana
Dalam keterangan resminya, BMKG menjelaskan tahapan gerhana berdasarkan Waktu Indonesia Barat (WIB), yaitu:
P1 (penumbra mulai): 22.26 WIB
U1 (sebagian mulai): 23.26 WIB
U2 (total mulai): 00.30 WIB
Puncak gerhana: 01.11–01.12 WIB
U3 (total berakhir): 01.53 WIB
P4 (penumbra berakhir): 03.56 WIB
Dengan begitu, rangkaian gerhana akan selesai menjelang azan Subuh, sebuah momen yang menambah kesyahduan malam.
Perspektif Tokoh Masyarakat: Ajakan Refleksi dan Edukasi
Tokoh masyarakat Garut, Apid Sumarsana, turut menyampaikan pandangannya. Menurutnya, gerhana bulan bukan sekadar fenomena sains yang memukau mata, melainkan sarat pesan moral, spiritual, hingga ekologis.
“Gerhana Bulan adalah tanda kebesaran Allah SWT. Kita harus memandangnya bukan hanya dari sisi astronomi, tetapi juga dari sudut keimanan. Ini mengingatkan manusia bahwa alam semesta tunduk pada aturan Sang Pencipta,” kata Apid.
Ia juga menekankan pentingnya menjadikan fenomena ini sebagai media pembelajaran, terutama bagi generasi muda.
“Anak-anak sekolah dan mahasiswa sebaiknya diarahkan untuk mengamati langsung. Jangan hanya sibuk dengan gawai, tetapi belajar dari langit dan memahami betapa agung ciptaan Tuhan,” ujarnya.
Lebih jauh, Apid menilai kekaguman terhadap langit harus mendorong kesadaran ekologis.
“Kalau kita bisa kagum pada langit, mestinya kita juga mampu menjaga bumi. Alam bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dirawat demi masa depan generasi,” tegasnya.
Dimensi Spiritualitas
Fenomena gerhana bulan juga memiliki dimensi spiritual yang dalam. Sejalan dengan imbauan Kementerian Agama, umat Islam dianjurkan melaksanakan Salat Khusuf (salat gerhana), memperbanyak zikir, serta berdoa bersama.
Apid menegaskan, sisi spiritual ini tidak boleh ditinggalkan.
“Gerhana adalah momen untuk bersujud, bukan untuk ditakuti. Mari jadikan peristiwa ini refleksi dan syukur. InsyaAllah, dengan doa dan ibadah, kita akan semakin sadar bahwa hidup ini fana, sementara kebesaran Allah kekal selamanya,” ucapnya penuh keyakinan.
Antusiasme Publik di Berbagai Daerah
Sejumlah lembaga astronomi, komunitas pecinta langit, dan BMKG di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, hingga Yogyakarta, telah menyiapkan fasilitas pengamatan gerhana. Masyarakat diundang untuk berkumpul di planetarium, masjid besar, atau lapangan terbuka. Bahkan, layanan siaran langsung juga disediakan untuk daerah yang berawan.
Di Garut, beberapa komunitas astronomi dan pecinta sains telah berencana menggelar kegiatan pengamatan bersama menggunakan teleskop sederhana. Agenda ini diharapkan tidak hanya menjadi ajang menatap langit, tetapi juga wadah kebersamaan masyarakat sekaligus sarana belajar yang menyenangkan.
Lebih dari Sekadar Peristiwa Alam
Gerhana Bulan Total pada 8 September 2025 ini dipandang sebagai salah satu peristiwa astronomi paling penting tahun ini. Selain memanjakan mata dengan keindahan langit malam, fenomena ini membawa pesan mendalam tentang kebesaran Sang Pencipta, pentingnya menjaga bumi, dan kewajiban menuntut ilmu.
Sebagaimana ditegaskan Apid Sumarsana, gerhana bukan sekadar tontonan alam, tetapi pengingat agar manusia semakin dekat dengan Tuhan, menjaga lingkungan, serta merendahkan hati di tengah luasnya jagat raya. (*)