Oleh: Ridwan Mustopa (Dosen Ilmu Komunikasi dan Praktisi Media)
Garut Opini,TRIBUNPRIBUMI.com – Era digital telah mengubah wajah komunikasi manusia secara mendasar. Kehadiran internet dan media sosial menjadikan informasi mengalir deras tanpa henti, seakan dunia kini hanya berjarak satu sentuhan layar.
Jika dulu surat kabar, radio, dan televisi menjadi penguasa tunggal ruang publik, kini kekuatan itu mulai terdistribusi ke tangan masyarakat luas. Siapa pun dapat menjadi “jurnalis dadakan”, penyampai kabar, bahkan pembentuk opini publik.
Fenomena ini memang memberi warna baru bagi demokratisasi informasi. Suara yang dulunya hanya dimiliki elite media kini bisa datang dari siapa saja. Seorang warga biasa bisa melaporkan kejadian di sekitarnya, lalu viral dan mendunia dalam hitungan menit. Namun, apakah demokratisasi informasi ini selalu berarti positif?
Demokratisasi Informasi atau Kebisingan Digital?
Masalah terbesar dalam era keterbukaan ini adalah kaburnya batas antara fakta dan opini, informasi dan manipulasi. Hoaks menyebar dengan kecepatan yang tak kalah dengan berita resmi. Informasi yang belum terverifikasi bisa lebih dipercaya daripada laporan media arus utama hanya karena tampilannya meyakinkan atau karena dibagikan berulang kali oleh banyak orang.
Di titik inilah literasi digital menjadi taruhan. Masyarakat dituntut lebih kritis, bukan hanya sebagai penerima, tetapi juga sebagai penyaring informasi. Tanpa kemampuan tersebut, demokratisasi informasi justru melahirkan kebisingan digital ruang publik yang penuh dengan kegaduhan, misinformasi, bahkan ujaran kebencian.
Media Konvensional: Bertahan atau Tersisih?
Perkembangan teknologi digital juga mengguncang industri media konvensional. Surat kabar yang dulu menjadi rujukan harian kini kehilangan pembaca. Televisi yang dulu dianggap sebagai “raja hiburan” mulai ditinggalkan generasi muda yang lebih memilih konten di YouTube atau layanan streaming. Radio yang pernah menjadi teman perjalanan kini tergeser oleh podcast yang bisa didengarkan kapan saja.
Kondisi ini menunjukkan satu hal: siapa yang tidak mau beradaptasi, akan tersisih. Namun, adaptasi bukan sekadar soal hadir di platform digital. Lebih dari itu, media konvensional harus mampu menjaga kualitas dan integritas, karena hanya dengan itu mereka tetap relevan di tengah derasnya banjir informasi.
Ekonomi Kreatif dan Peluang Baru
Digitalisasi media juga menciptakan peluang ekonomi yang luar biasa. Lahir profesi-profesi baru seperti content creator, influencer, hingga jurnalis independen yang bisa hidup dari iklan, kerja sama, atau dukungan audiens. Ini menandakan bahwa media kini tidak lagi sepenuhnya dikendalikan perusahaan besar, tetapi juga terbuka bagi individu kreatif.
Namun, fenomena ini juga membawa risiko: orientasi pada sensasi demi “engagement” seringkali mengalahkan kualitas informasi. Demi klik, like, dan share, tak jarang konten yang dihasilkan justru dangkal, provokatif, bahkan menyesatkan.
Tantangan Sosial dan Budaya
Media digital tidak hanya memengaruhi pola konsumsi informasi, tetapi juga kehidupan sosial dan budaya. Batas geografis semakin kabur, ide dan budaya global masuk tanpa filter, sementara budaya lokal berpotensi terkikis. Masyarakat yang tidak memiliki kesadaran identitas bisa dengan mudah kehilangan akar budayanya karena terbawa arus homogenisasi global.
Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan. Media digital harus menjadi ruang pertukaran budaya, bukan alat untuk menghapus kearifan lokal. Identitas budaya bangsa harus tetap dijaga, meski kita terbuka terhadap perkembangan global.
Menggenggam Kendali, Bukan Tergilas Arus
Transformasi media digital adalah keniscayaan. Ia membawa peluang besar bagi demokratisasi informasi, ekonomi kreatif, dan keterhubungan global. Namun, ia juga menghadirkan tantangan berupa hoaks, krisis kepercayaan, dan risiko terkikisnya nilai budaya.
Kita tidak bisa menolak perubahan ini. Yang bisa kita lakukan adalah menggenggam kendali meningkatkan literasi digital, menjaga etika komunikasi, serta mendorong media tetap berpegang pada integritas. Tanpa itu semua, kita akan mudah tergilas arus informasi yang semakin deras.
Media digital seharusnya tidak hanya menjadi cermin dunia, tetapi juga sarana untuk mencerdaskan bangsa, menguatkan nilai kemanusiaan, dan meneguhkan identitas di tengah globalisasi.